Sihiteezra's Weblog

Love the Life You Live&Live the Life You Love

Momo dan Kopaja di Kathmandu

leave a comment »

Whiteboard menu makanan di cafe di Kathmandu. Source: Miss Cha

Awal November 2022 silam saya sempat mengunjungi Kathmandu, Nepal. Ini kali pertama menginjakkan kaki di negara yang sebenarnya sekian lama membuat saya cukup penasaran. Di bayangan saya, eksotisme filosofi ketimuran dalam balutan tradisi Hindu dan Buddha pasti langsung tergambar di wajah nuansa alam, bangunan, tradisi, ritual hingga keseharian masyarakat di sana. Meski saya bukan yogi bukan pula seorang pendaki, Nepal masuk dalam bucket list.

Ulasan dalam pencarian Google menyebut bahwa Oktober hingga November menjadi periode paling tepat mengunjungi negara ini. Wah pengaturan waktu alias timing yang tepat, sempat tercetus dalam hati. Memang, tujuan ke Kathmandu bukan untuk liburan bahkan jauh dari hal itu. Saya ke sana dalam rangka mengikuti semacam leadership bootcamp yang dihelat oleh International Federation of Journalists (IFJ. Jadi, alih-alih melancong sana-sini, dalam sehari saja akan sibuk. Materi, sesi diskusi dan presentasi akan jadi agenda penuh sejak pukul 09.00 pagi hingga 17.00 petangnya. Tak apa, saya tetap girang.

Dan akhirnya saya tiba di Kathmandu.

Siang waktu setempat barangkali pukul 13.40 lebih, saya dan seorang kolega yang juga dari Jakarta, seorang jurnalis dan aktivis salah satu organisasi pekerja media memutuskan keluar hotel. Tujuan utama mencari makan siang. Sementara sesi bootcamp baru akan dimulai esok paginya.

Kami memutuskan keluar dengan spontan saja dan akan makan di tempat yang mungkin menarik. Definisi menarik dalam konteks saya kali ini adalah kuliner lokal yang biasa disantap warga di sana alias akamsi (anak kampung sini) saat makan siang.

Hotel yang kami tempati terletak di kawasan Babar Mahal, letaknya sekitar 5 Km dari Bandara Internasional Tribhuvan. Hal ini melegakan karena perjalanan bandara ke lokasi yang terbilang masih pusat kota itu tak menghabiskan waktu yang cukup lama. Waktu bisa dialokasikan untuk lihat-lihat alias sightseeing.

Berjalan ke luar hotel, udara cukup dingin. Hawanya bak cuaca pada musim gugur walau tak sedingin musim gugur Eropa tentunya. Saat siang hari, belum perlu jaket atau baju hangat, celana panjang dan baju lengan panjang masih nyaman digunakan. Saya berjalan menyusuri pinggir jalan dan sesekali naik ke atas trotoar yang sebagian besar tak lagi sempurna bentuknya. Tak sampai berjarak 200 meter berjalan, sudah tampak ruko-ruko sederhana yang didatangi orang.

Kebanyakan tampak menuliskan di depan tokonya dengan aksara Nepali meski ada juga tulisan dengan aksara Latin walau minim. Tulisan “Photo Copy” hingga “e-Passport” paling sering saya temukan. Saya menduga masih jamak di sana semacam biro jasa pengurusan paspor dan dokumen selain menjual berbagai peralatan.

Ingin bertanya namun apa daya saya tak mampu berbahasa Nepali apalagi kapabel berbahasa India yang pada umumnya bisa dipahami warga di sana. Selain tulisan dan plakat berbahasa Nepali, tampak pula bunga-bunga marigold menjadi penghias toko. Kembang ini banyak ditanam di kawasan Asia Selatan karena sering digunakan dalam ritual dan ibadah. Untuk memuaskan penasaran saat melewati jalanan itu, sesekali saya menajamkan kekuatan lensa bola mata saya agar mampu menilik menembus ke dalam ruang toko-toko itu. Di sana selain barang dagangan, tak jarang ada gambar-gambar figur dewa yang dipuja menjadi pajangan.

Beberapa tempat yang menjual semacam roti dan teh susu sempat terlewati, minuman yang amat familiar di Nepal sana. Ada pula satu dua pedagang yang menjual sayur dan buah-buahan yang variannya cukup terbatas. Sebagian buah di keranjang plastik dan ember bahkan mulai terlihat layu, warnanya tiada lagi cerah merona.

Jalanan pada saat itu terbilang cukup ramai. Motor dan bus umum paling sering lalu-lalang selain mobil-mobil pribadi yang bodinya tampak cukup berdebu, tipis hingga tebal. Bus angkutan umum di sini semacam Metromini di Jakarta atau lebih mirip Kopaja sebenarnya. Menariknya, bus-bus itu sering sekali penuh. Wah mobilitasnya cukup tinggi, ini yang muncul dalam benak ketika memperhatikan sejumlah penumpang turun naik.

Sementara topografi jalanan di pertokoan sederhana tersebut, tak lurus dan tak lempeng begitu saja, berkelok kadang-kadang. Pada dasarnya jalanan sedikit menanjak. Barangkali beginilah kondisi topografi di wilayah negara landlocked yang dipagari dataran tinggi hingga pegunungan itu. Berjalan dan menyaksikan pemandangan di kawasan Babar Mahal kali itu membuat saya sedikit terbawa dalam suasana di film-film asal Asia Tengah-Selatan yang gandrung saya tonton di channel Cinemaworld lewat televisi kabel.

Lalu sejurus tampak kabel-kabel listrik menggelayut ramai ditahan oleh tiang-tiang yang tak selalu tampak berdiri lurus di sepanjang jalan. Agak semrawut mengganggu indahnya pemandangan awan biru di angkasa pada siang yang berangin itu.

Akhirnya kami masuk ke sebuah tempat makan. Ada tulisan cafe di antara tulisan berabjad Nepali dan gambar 4 jenis makanan yang menjadi menu di sana. Kalau boleh mengukur, tempat makan ini sebenarnya lebih mirip warung, luas ruanganya tak lebih luas dari kebanyakan warteg di Jabodetabek. Uniknya cafe ini dibangun lebih tinggi dari jalanan dan trotoar sehingga perlu 2-3 anak tangga untuk sampai menyentuh bibir pintu. Masuk ke dalam, ada tiga pria di satu meja yang sedang ngobrol tampaknya sudah selesai makan. Mereka langsung memandang ke arah kami walau singkat dan kembali meneruskan berbincang. Mungkin ketiganya mengendus “aura” pendatang, izinkan saya agak dramatis sedikit.

Momo. Source: Miss Cha

Meja untuk pelanggan hanya ada tiga dengan masing-masing 3-4 kursi. Lalu ada etalase lusuh berisi bahan makanan. Di belakang etalase tampak peralatan kompor masak. Ada juga semacam drum yang saya duga berisi air. Di samping etalase tua itu ditumpuk krat-krat bersusun berisi botol-botol Coca Cola yang sudah kosong pun sebagian masih berisi. Pemandangan krat-krat botol Coca Cola itu sejenak membawa saya kembali ke memori era 90-an.

Meski masih menggunakan masker menutupi setengah wajah, saya tetap menyungging senyum karena dalam keyakinan saya sejauh ini, senyum akan jelas tergambar dari ekspresi garis mata. Sebuah bahasa yang universal. Apalagi pemilik warung tampaknya antusias saat kami melewati ambang pintu.

Saya menebak pemilik kafe “warung” adalah sepasang suami istri. Setelah say hello kami berkomunikasi dengan bahasa tubuh yang bisa dimengerti dan paling gampang. Tinggal tunjuk tulisan di menu yang sudah tertera meski menggunakan bahasa yang asing, si ibu tampak langsung paham. Pesanan kami langsung dieksekusi sang bapak.

Menu makanan dan harga dalam Nepalese Rupee ditulis dalam dua abjad, Nepali dan Latin. Menu dituliskan dalam papan whiteboard dengan spidol hitam. Akhirnya saya menemukan hal yang membedakan cafe ini dengan warteg. Teratas ditulis menu momo yang langsung saya pilih hanya karena lainnya kebanyakan ditulis dengan abjad Nepali. Tak mau berlama-lama karena mulai merasa lapar. Minumannya saya pilih teh susu karena Nepal juga cukup dikenal produk tehnya.

Belakangan saat momo menu makanan yang cukup populer di Nepal itu disajikan, tampaklah bagi saya sangat familiar. Voila! momo ini sama saja dengan dumpling di masakan Tionghoa atau gyoza dalam masakan Jepang. Bisa disajikan dengan digoreng atau direbus lalu bisa dinikmati dengan atau tanpa kuah. Yang membedakan hanya pada saus. Isinya pun bisa daging ayam, daging sapi atau sayuran tinggal pilih. Saya memilih yang isi daging sapi dan teman saya memilih daging ayam. Saus di cafe Kathmandu lebih berempah ala India namun tak semenyengat kari. Cukup enak.

Di tengah-tengah kami menikmati sajian makan siang, para pelanggan berdatangan. Hampir semua dari mereka menyempatkan menengok ke arah kami tanpa senyum. Sebagian bahkan cenderung dengan pandangan menyelidik. Mendekati pukul 14.00 hingga lewat siang itu, silih berganti yang bertandang. Saya menebak, mereka para perempuan dan lelaki itu kebanyakan karyawan di perusahaan atau kantor karena memang memang wilayah Babar Mahal tak jauh dari lokasi kantor pemerintah dan pelayanan publik di Kota Kathmandu.

Source Miss Cha

Namun selama makan siang perdana di Kathmandu kala itu ada dua hal yang menjadi temuan saya. Bahkan salah satunya membuat saya bertanya-tanya hingga hari ini. Yang satu sebenarnya cenderung melegakan. Yang lainnya mengusik pemikiran. Izinkan saya memulai dari cerita sederhana soal botol berisi air.

Alkisah dua botol minuman yang berisi air yang terlihat tak begitu bening dalam botol kaca yang juga tak lagi kinclong. Sejak duduk, saya sebenarnya sudah memperhatikan botol air itu. Mata saya berusaha menemukan semacam mangkok atau kobokan di dekatnya karena hal itu biasa ada di lapo-lapo kedai makan masakan Batak di Indonesia. Namun tak saya temukan di sana.

Masing-masing 2 botol setinggi botol bir Bintang itu diletakkan di tiap meja dalam cafe dan disusun menempel ke dinding. Temuan ini bagi saya amat unik setelah akhirnya paham peruntukannya.

Rasa penasaran terjawab tatkala 1-2 orang pelanggan perempuan sehabis suapan terakhir tampak memutar botol pelan-pelan, membukanya dan kemudian menuangkan air ke dalam mulutnya. Untungnya tampak tak menyentuh bibir. Saya dan teman saya sontak saling tersenyum. Kami bahkan sempat membahas sedikit soal itu. Pakai bahasa Indonesia tentu. Baru kali ini saya menemukan kebiasaan menarik tersebut.

Jadi para pelanggan ternyata bisa minum gratis dari air botol komunal itu. Saya akan memilih menyebutnya kebiasaan komunal dibandingkan botol minuman massal karena percaya setiap orang saat minum dari sana tetap mengingat pelanggan berikut yang akan memakainya.

Saya merasa tersentuh. Sejujurnya saya sempat terhenyak. Sebuah kebiasaan kecil dalam cafe representasi bisnis itu justru terjadi praktik yang menjungkalkan spirit komersil yang saat ini kian kental terjadi di mana-mana. Di Indonesia saja kini amat langka ditemukan kafe atau restoran yang menggratiskan air putih. Apalagi minum dari tempat yang sama. Semuanya harus terukur dengan mata uang.

Saya akui melihatnya agak geli karena memang tidak terbiasa. Namun pemandangan itu entah mengapa membuat saya lega atau mungkin bahagia. Pemandangan bus ala Kopaja yang lalu lalang dari balik pintu cafe mulai tampak indahnya.

Botol air minum source: Miss Cha

Kini temuan yang kedua. Akhirnya setelah menyaksikan pelanggan perempuan terakhir yang sempat kami temui, saya menyimpulkan para perempuan itu selalu datang berdua. Sepertinya mereka teman satu kerja atau kolega yang sedang istirahat makan siang. Tapi ada yang berbeda antara konsumen perempuan dan beberapa lelaki sebelumnya. Walau saya akui tak semua meja pelanggan lelaki sempat saya sapu dengan pandangan.

Satu hal yang pasti, saya dan teman saya sepakat bahwa setidaknya dua pasang atau bahkan tiga pasang perempuan berkawan itu hanya memesan satu menu namun dengan dua sendok dan menikmati makanannya bersama-sama. Iseng sepiring berdua? Saya rasa tidak. Mereka memakannya dengan lahap. Walau mereka sesekali sambil ngobrol. Makanan mereka pun cepat ludes. Sementara isi piring momo di atas meja kami tak juga tandas sudah mendekati 1 jam.

Dua pasang pelanggan perempuan sepenglihatan saya memesan sejenis nasi seperti nasi briyani yang lauknya minim. Amat sederhana. Tampak semacam lauk dan sayur tercampur nasi. Porsi piringnya pun tak jumbo. Sementara lainnya memesan sejenis makanan yang saya tak terlalu bisa identifikasi. Namun persamaan mereka kalau bisa saya ulangi adalah memesan hanya satu menu makanan, berbagi dan makan dengan lahap, makanan cepat habis lalu minum dari botol air komunal. Mereka tidak sedang makan “cantik” alat cewek-cewek gaul berbagi kudapan.

Barangkali kalau hanya sekali hal itu terjadi tentu saya tak akan ambil pusing. Namun hal ini berulang dalam kurun waktu tak sampai 1 jam. Jujur saya sempat merasa iba walau buru-buru saya tepis karena sadar prasangka tak akan pernah memberi makna atas fakta yang sesungguhnya. Seandainya saya bisa bertanya ke ibu cafe mengapa para pelanggan perempuan berpakaian sederhana itu kebanyakan memesan makanan sepiring untuk berdua. Seandainya.

Miss Cha

Written by Miss Cha

December 9, 2022 at 4:40 pm

Leave a comment