Sihiteezra's Weblog

Love the Life You Live&Live the Life You Love

Archive for June 2009

Zara Zettira ZR : Berbagi Cerita Hidup

with one comment

Impiannya Membangun Panti Asuhan Di Ubud Bali, Lengkap Dengan Sawah Dan Tempat Berusaha Bagi Anak-Anak Panti.

Lama tak terdengar kabarnya, penulis Zara Zettira diam-diam kembali akan menerbitkan novelnya. Novelis yang kini menetap di Kanada itu, menggambarkan kisah hidupnya di sana. 

n1066818069_316129_4801
Zara memang sempat hilang dari peredaran. Selama kurang lebih 10 tahun, tak sekali pun terdengar Zara menerbitkan karya-karyanya. Lalu tahun ini, mantan gadis sampul ini datang ke Indonesia membawa kejutan: novel terbaru berjudul Cerita dalam Keheningan. Novel itu tebalnya 1.000 halaman, ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris.

Perempuan berusia 39 tahun ini bercerita, novel itu berkisah tentang dirinya, pengalaman hidupnya. “Itu sebetulnya dari catatan harianku,” kata dia tersenyum. 

Ada cerita ketika dia menghadapi keheningan di Kanada, tempat tinggalnya dalam 10 tahun terakhir, cerita tentang Zara yang dirawat di rumah sakit dan sebagainya. Tak ada tenggat, tak ada kejar tayang ketika Zara menulis novel itu. Semuanya dia kerjakan dengan sepenuh hati. 

Perjalanan hidup Zara sebagai penulis memang cukup berliku. Di usia 12 tahun, Zara misalnya pernah memenangkan lomba penulisan cerpen di sebuah majalah remaja. Cuma karena pemalu, mantan None Jakarta Pusat 1989 itu tak percaya diri dengan bakat menulisnya. Memiliki skor IQ 159, Zara lantas menuangkan semua yang dia rasakan dan yang dia lihat dan didengarnya ke dalam tulisan. 

Tentang lomba menulis itu, Zara bercerita, sebetulnya tak lepas dari peran psikolog. Suatu hari, karena sifat pemalu Zara itu, orang tuanya membawa dia berkonsultasi ke psikolog. Sarannya, Zara dianjurkan mengikuti lomba-lomba termasuk lomba menulis itu. Sejak itulah Zara kemudian mulai ikut lomba-lomba, termasuk lomba penulisan itu dan belakangan lomba None Jakarta. 

“Setelah ketemu mas Bens Leo, mbak Dewi Dewo dan Ibu Pia Alisyahbana, aku mantap jadi penulis, yes I can be a writer and lived by writing,” kata ibu dua anak ini.

Namun bagi Zara, menjadi penulis adalah pilihan untuk berbagi. Pembaca buku-bukunya seolah terlibat di dalamnya, menjadi tokoh cerita, atau minimal jalan ceritanya dianggap mirip dengan pengalaman hidup mereka. Kata dia, problem hidup manusia itu pada dasarnya sama, dan karena itu sebagai penulis, Zara lalu mencoba untuk berbagi.

Tahun lalu Zara merampungkan lima buku. Dan tahun ini dianggapnya sebagai tahun kembalinya dia ke dunia tulis menulis. Lalu Cerita dalam Keheningan itu diluncurkannya di Jakarta. “Aku tak pernah menargetkan novelku akan menjadi bestseller, menulis yah menulis saja, bahkan tak harus diterbitkan,” katanya.

Tapi Zara menyadari keberuntungan dirinya sebagai penulis. Suaminya yang orang Hongaria yang tak mengharuskan dia bekerja, malah memberi peluang waktu kepada Zara menuangkan ide dan gagasan menjadi sebuah buku. “Memang sejak dulu aku ingin, kalau berkeluarga yah mengurus anak saja, itu juga yang menjadi alasanku memilih profesi penulis,” kata Zara.

Balihomesvillas 
Benar, Zsolt Zsmemba, suami Zara memang memberi keleluasaan meski itu bukan menjadi penyebab bagi Zara ikut pindah ke Kanada. Pindah ke Kanada justru datang dari Zara. Pertimbangannya, dia tak tega melihat mertuanya yang harus terbang selama 30 jam dari Kanada ke Indonesia, hanya sekadar untuk melihat cucunya. Keputusan pindah ke Kanada semakin bulat, karena Zsmemba suaminya menjadi tulang punggung keluarga. Maka sejak 10 tahun lalu, jadilah perempuan lulusan Fakultas Psikologi UI itu hijrah ke Toronto.

Ada cerita lucu tentang perkenalan Zara dengan Zsmemba, suaminya itu. Keduanya memiliki inisial nama yang sama ZZ. Gara-gara inisial itu, Zara dan Zsmembe kali pertama berkenalan. Bukan di dunia nyata melainkan di dunia maya, internet. “Kami sama-sama bertemu di situs penyuka anjing, kalau chat kami suka berantem karena pakai ZZ juga, aku kira dia iseng menyamar jadi aku,” kata Zara. Senyumnya renyah, matanya menerawang.
Dari saling berbagi di internet, pertemanan mereka berlanjut ke pertemuan. Lalu menikah dan Zara ya itu tadi kemudian memutuskan tinggal di Kanada. Zara bercerita, di Toronto itu, rumah mereka terletak di perbukitan. Sebuah down city. Sebuah kawasan yang dia anggap tepat untuk membesarkan anak-anaknya dibandingkan kota seperti Jakarta . 
Perempuan penggemar karya-karya klasik seperti Babad Tanah Jawi dan sebagainya itu, kini sedang mempertimbangkan untuk membangun panti asuhan di Bali, daerah yang selama ini selalu menjadi tempat kepulangan keluarganya ke Tanah Air. Di Bali, Zara memang punya tempat tinggal, sebuah vila bernama Balihomesvillas. Ke vila itulah, rutin setiap tahun, keluarganya dari Kanada selalu berlibur. 

Bagi Zara, bukan hanya Bali itu yang menarik, tapi vilanya juga punya sejarah bagi keluarganya. Bermula ketika bom bali 2005, temannya yang membuka usaha di Bali bangkrut dan memerlukan dana. Tanah dan aset mereka dijual. “Aku membelinya dengan niat membantu, orang-orang bilang aku wong edan, Bali habis down karena bom malah investasi di sana,” kata Zara.

Sekarang vila yang awalnya cuma satu itu, bertambah menjadi tiga. Zara juga mengajak temannya di Kanada untuk berinvestasi di Bali. Vila itu disewakan. “Mereka senang karena tahun lalu ketika pasar modal anjlok, investasi mereka di Bali aman. Mereka berterima kasih,” katanya.

Hasil dari penyewaan vila itu, lalu akan digunakan Zara membeli tanah di Ubud. Di tanah itulah, panti asuhan impian Zara kelak akan dibangun. Konsepnya panti asuhan yang self content, mandiri membiayai hidup dan bukan mengandalkan balas kasih donatur.

Di sana Zara membayangkan, akan ada sawah, ladang, toko cendera mata, kafe dan tempat menginap yang bisa disewa. Dengan demikian, anak-anak panti bisa sekalian mengambil bagian dalam usaha-usaha itu untuk penghidupan mereka. N ezra sihite

Dikutip sepenuhnya dari Koran Jakarta 28 Juni 2009

Written by Miss Cha

June 29, 2009 at 1:20 pm

Posted in Uncategorized

” Saya Tak Ingin Seperti di Iran “

with one comment

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai lamban dalam menyediakan logistik untuk pemilihan presiden (pilpres). Mereka bahkan tidak dapat memberikan kepastian apakah surat suara dapat terdistribusi tepat waktu. Untuk mengetahui sejauh mana yang dihadapi lembaga ini, berkit wawancara Agus Triyono dari Koran Jakarta dengan Wakil Ketua KPU, I Gusti Putu Artha yang ditemui diruang kerjanya Jumat (26/6)

4a(12)


Bisa dijelaskan persiapan apa saja yang saat ini sudah dilakukan KPU menjelang digelarnya pilpres Juli mendatang?


Kalau sejauh ini elemen persiapan sudah dimatangkan. Unsur- unsurnya yang pertama misalnya masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Saya kira seluruh elemen masyarakat sudah bisa memahami apa yang telah kita usahakan. Sampai kemudian hampir setiap hari selama tiga minggu running teks di bebarapa stasiun TV, iklan di jalan, terus menggugah masyarakat agar mencermati dengan baik. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 29, 2009 at 1:10 pm

Posted in Uncategorized

Karut Marut KPU

leave a comment »

Ketidakberesan kinerja KPU ini terkait sumber daya manusia di dalamnya
Pelaksanaan pemilu legislatif yang dinilai amburadul, telah melahirkan tudingan ketidakbecusan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Mulai dari DPT yang bermasalah hingga pendistribusian surat suara. Bagaimana persiapan KPU pada pilpres kali ini?


Dua pekan jelang pelaksanaan pemilihan presiden, kesibukan di kantor Komisi Pemilihan Umum, kian meningkat. Dalam sepekan, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshari bahkan harus bolak-balik ke luar kota untuk melakukan sosialisasi tata cara pemilihan maupun pendaftaran. Begitu pun jajaran stafnya.

4(480)
Selain sosialisasi, KPU sebagai pelaksana hajatan lima tahunan ini, juga kebagian tugas mengatur debat kampanye capres. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 29, 2009 at 12:58 pm

Posted in Uncategorized

Karena Tanah Kelahiran

with one comment

Yang Paling Mendesak Dibenahi Di Papua Adalah Mentalitas.

Tak mudah membangun kepercayaan para perempuan Papua, apalagi untuk ikut kontes kecantikan. Apalagi mereka merasa sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan. Dibutuhkan pendekatan tersendiri, dan Audra melakukan itu.

11(142)

Kepuasan batin bagi perempuan ini jadi prioritas utama dalam bekerja,. Itulah mengapa dia memilih kegiatan sosial budaya dengan wadah Putri Papua. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 23, 2009 at 12:00 pm

Posted in Uncategorized

Tumini dan Janji Mimpi

leave a comment »

Tumini menangis setiap hari. Bukan karena rasa sedih atau cengeng, tapi perempuan Madiun yang usianya melewati setengah baya itu harus merasakan sakit yang barangkali tak tertahankan akibat penyakit aneh yang dialaminya. Siapa yang pernah merasakan kehilangan wajah dan hanya tinggal setengah dahi dan rahang bawah yang tersisa. Selama tiga puluh empat tahun, perempuan yang masih bekerja sebagai buruh kasar tersebut tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Sekalipun menurut seoarang anak lelakinya, pada tahun-tahun awal Tumini merasakan sakit, mereka mencoba mendapatkan jawaban dari beberapa pihak rumah sakit di daerah Madiun dan sekitarnya. Namun kesembuhan yang tak kunjung tiba dan yang terutama alasan ekonomi yang masih menjadi persoalan utama hidup sehari-hari memasrahkan Tumini dan keluarga. “ Awalnya hanya tumbuh sejenis jerawat di wajah tapi kemudian berlubang,” kata putra Tumini seperti yang disiarkan siaran berita di salah satu stasiun televisi nusantara. Jerawat yang kemudian menjadi lubang membesar itu perlahan-lahan menggerogoti rahang bagian atas, hidung, pipi hingga setegah dahinya. Kalau dilihat Tumini bukan lagi seperti manusia tapi sesosok zombie seperti yang ditampilkan di film-film. Tapi hampir setiap hari, dia masih bisa mencuci pakaiannya dan keluarga di sumur yang tak jauh dari rumahnya yang amat sangat sederhana.

Potret Kemiskinan-Hentakun[1]

Potret kemiskinan, kesakitan dan kesengsaraan memang bukan barang baru di negeri ini. Justru pada musim-musim kampanye Pemilu sekarang menjadi sebuah komoditas. Dengan mengatasnamakan pengentasan kemiskinan, mewujudkan rakyat makmur dan sejahtera, para politikus yang sedang berada di panggung menuju super elite politik percaya diri berkoar-koar. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 20, 2009 at 12:56 pm

Posted in Uncategorized

Jangan Samakan Papua

leave a comment »

George Junus Aditjondro, sosiolog yang pernah dicekal pada zaman Soeharto dan kini mengajar di salah satu universitas di Australia, pernah berkomentar soal orang Indonesia seperti yang dikutip harian Sinar Harapan 1 Mei 2006. Menurutnya, bangsa Indonesia itu bangsa yang rasis  dan ada dua jenis rasisme di Indonesia, rasisme ekonomi terhadap orang-orang bermata sipit dan rasisme biologis terhadap orang-orang berkulit gelap. Tak serta merta memang ucapan George ini bisa diterima. Namun sosiolog ini juga memang mendalami masalah sosial politik yang berkaitan dengan gerakan maupun gejala separatis di Indonesia, mulai dari Timor-Timur yang kini lepas, Aceh yang akhirnya masih dapat direm dengan pertemuan Helsinki dan Papua yang kini gaungnya masih kedengaran.

1

Saat gerakan Aceh Merdeka mulai teredam maka Papua yang wilayahnya tujuh kali luas Aceh itu dan berpenduduk tak lebih dari tiga juta tersebut dan dengan penduduk asli skeitar dua jutaan, belum selesai dengan persoalan meleburkan diri dengan NKRI atau lepas dan mencoba mandiri. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 17, 2009 at 11:22 am

Posted in Uncategorized

Cinta Centhini

with one comment

Perempuan Eropa yang jatuh cinta pada suluk Jawa, menerjemahkannya, lalu mencintainya.



Dari namanya Elizabeth D. Inandiak jelas bukanlah orang Indonesia, apalagi orang Jawa. Perempuan ini orang Prancis. Kepada Elizabeth akan tetapi jangan ditanya soal Indonesia apalagi soal Jawa, karena bahkan orang Jawa yang mengaku paling Jawa sekali pun pengetahuannya tentang Jawa bisa tak ada apa-apanya dibandingkan Elizabeth.

Benar, Elizabeth memang tergila-gila dengan Jawa, budaya dan kesusastraannya. Dialah perempuan nonJawa dan nonIndonesia itu, yang kali pertama menerjemahkan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 15, 2009 at 12:25 pm

Posted in Uncategorized

Kecantikan Anggrek Hitam

leave a comment »

Marcelina Rahawarin :

Marcelina memang anggrek hitam itu. Mungkin juga mutiara hitam. Lihatlah, sorot mata yang berpendar, gigi bersih, dan hidung bangir itu. Berbincang-bincang dengannya, seolah laksana menemui debur ombak Lautan Teduh yang biru memikat itu. Dia mewakili kecantikan perempuan Indonesia timur. Pintar dan berbakat.


Kulit hitam, rambut keriting, mungkinkah itu bisa menjadi putri kecantikan? Di tengah anomali publik yang diracuni banyak iklan murahan, bahwa cantik itu harus putih, dan berambut lurus, pertanyaan itu mungkin akan dijawab iya. Para perempuan yang secara genial berpenampilan fisik seperti itu, sebagian juga sering pesimistis. Tapi Marcelina Rahawarin berpendapat lain. Cantik baginya adalah diri sendiri .yang utuh, bukan imaji iklan instan di televisi. 

“Perbedaan (persepsi) kecantikan fisik, itu biasa. Saya mulai percaya diri harus menjadi diri sendiri,” tutupnya

Bagi dara Papua itu, imaji cantik yang sering digambarkan oleh iklan, justru membuatnya termotivasi. Dia karena itu tak ragu ikut mendaftarkan dalam kontes Putri Indonesia 2009. Dan hasilnya, pekan lalu, dia terpilih menjadi Putri Indonesia Papua 2009. Acara yang berlangsung di Hotel Rimba Papua, Timika, Mimika, Papua itu diikuti 15 finalis.

“Hitam, keriting dan cantik seperti anggrek hitam,” kata Rosalyn, Event Organizer penyelenggara pemilihan Putri Indonesia Papua saat ditanya seperti Macrelina. Rosalyn adalah seorang dokter, berdarah Papua yang mendorong Marcelia tampil di ajang kontes kecantikan itu. 

Benar, Merci –panggilan Marcelina— memang anggrek hitam itu. Mungkin juga mutiara hitam. Ditemui di kamar hotelnya, pada sebuah siang, Senin lalu, Merci terlihat mengenakan celana sport biru gelap dan kaus abu-abu. Sama sekali tak ada rias make up di wajahnya. Lalu lihatlah, sorot mata yang berpendar, gigi bersih, dan hidung bangir itu. Berbincang-bincang dengannya, seolah laksana menemui debur ombak Lautan Teduh yang biru memikat itu. Dia mewakili kecantikan perempuan Indonesia timur

Saat disematkan tiara putri Papua, dia tampil mengenakan kebaya kuning berhiaskan bulu burung dan berkain batik Papua. Kostumnya malam itu memang tampak lebih menonjol ketimbang para kontestan lain. Busana itu, kata dia, dipersiapkan berkat bantuan seorang teman kerja, yang kebetulan memiliki salon kecantikan. 

Sebelum berbusana kebaya, malam itu, dia sempat mengenakan gaun malam berwarna hitam berhias corsace putih krem. Di bagian kaki melebar bagai kuncup bunga terbalik, lebih unik dibandingkan busana sesama finalis. Dari penampilan Merci malam itu, memang sudah seolah terlihat dia menjadi bulan di antara bintang-bintang yang lain.

Saat penjurian misalnya, Merci menunjukkan bakatnya menari. Dia memadukan tiga jenis tarian Papua, tari Mapia, Mapi dan Asmat. Tak hanya tari tradisional, salsa juga tari yang dikuasai Merci meski menurut pengakuannya, dia sudah lama tak menari salsa. 

“Saya sedang belajar untuk makin percaya diri dan kalah menang tak jadi soal, ini pengalaman,” kata gadis yang memiliki ukuran tinggi badan 172 centimeter itu.


Putri Indonesia


Dengan predikat barunya sebagai Putri Indonesia Papua 2009, tiga bulan lagi, Merci akan bertemu dengan 31 Putri Indonesia dari provinsi lain di ajang yang lebih besar; Putri Indonesia 2009. “Saya enggak terbayang kalau akan ikut ajang itu, di pikiran saya, mereka itu semua cantik-cantik, elegan dan pintar, saya enggak pernah menyangka bisa mengikuti,” katanya.

Itu bukan ungkapan rendah diri. Melainkan justru sebuah semangat buat Merci. Lebih dari itu dia sebetulnya sedang memperjuangkan sebuah nilai, memotivasi para perempuan Papua yang lainnya. “Kami harus terus belajar dan bisa menunjukkan kemampuan dan ciri khas kami,” katanya

Sebelum dinobatkan sebagai Putri Indonesia Papua 2009, Merci sempat bekerja di sebuah hotel di Bali. Pendidikannya di bidang wisata memungkinkan dia, mendapatkan pekerjaan itu dengan gajinya lumayan besar. Namun belakangan, Merci memilih untuk kembali ke Papua, Timika itu. Kecintaannya pada tanah kelahiran, membuatnya tak bisa melupakan Papua. “Banyak yang harus dibenahi di sini,” katanya.

Kematian ibu saat persalinan yang masih tinggi di Papua, antara lain termasuk hal yang harus dibenahi itu. Merci bercerita, di daerah Kamoro, para ibu masih melahirkan dengan posisi jongkok sementara lengan mereka sengaja dipegangi agar tak berbaring. Persalinan itu kata Merci dilakukan di atas pasir, dan saat si bayi keluar, maka langsung dilumuri dengan pasir. Ini dilakukan atas dasar kepercayaan untuk keselamatan bayi dan ibu. Merci tak mengerti soal kepercayaan itu, tapi menurutnya potensi sakit dan meninggal pastilah besar dengan proses semacam itu.

Hal lainnya menyangkut jumlah pengidap HIV di Kabupaten Mimika, yang masih merupakan yang tertinggi di Papua. Data yang tercatat di Komisi Penanggulangan AIDS Daerah, Mimika, hingga 30 Juni 2008 sudah tercatat 1.681 orang yang tertular HIV/AIDS atau bertambah sekitar 200-an orang dari tahun sebelumnya. 

Menurut Merci faktor ketidaktahuan masyarakat soal penyakit HIV dan penularannya, menyebabkan penyakit itu cepat menyebar. Dia tak menampik di kota Timika terdapat lokalisasi dan pekerja seks komersial yang berpotensi besar memengaruhi pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS. Namun ketidaktahuan masyarakat, dianggapnya menjadi penyebab penularan virus itu di Papua. 

Bagaimana dengan budaya sebagian besar suku di Papua yang menikahi banyak perempuan? “Ini soal adat dan kebiasaan, yang sulit untuk dijawab,” katanya tersipu. Senyumnya tertahan.

Restoran dan Kafe


Merci memang gadis murah senyum. Suatu kebiasaan yang menurutnya susah dijumpai pada kebanyakan orang Papua termasuk pada perempuannya. Padahal senyum bisa menunjukkan sesuatu yang anggun dan santun. Merci karena itu merasa beruntung, pernah tinggal di Bali dan bekerja di bisnis wisata, yang memaksanya untuk selalu tersenyum. 

Kini, Merci yang murah senyum itu bekerja sebagai pelayan di lounge di sebuah hotel di Timika. “Pekerjaan ini butuh kesigapan dan kerendahan hati melayani pelanggan secara profesional, cita-cita masih panjang,” kata Merci, yang bisa berbahasa Prancis dan Inggris itu.

Dia bercerita, beberapa kali ada saja pengunjung lounge yang iseng dan menggoda perempuan berwajah tirus ini. Disikapi dengan sopan dan profesional, mereka akan mundur sendiri. “Terima kasih, saya hanya bekerja di sini Pak tak lebih dari itu,” Merci menirukan jawabannya yang sering dia sampaikan kepada lelaki genit.

Suatu hari, katanya, dia berharap akan bisa membuka restoran atau kafe. Di Papua, usaha itu kata dia, berprospek bagus dan akan bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Soal masa kecil, kata Merci tak terlalu banyak yang istimewa. Tapi dia mengacungkan jempol buat sang ibu yang sangat mementingkan pendidikan sehingga anak-anaknya bisa mencecap pendidikan tinggi. “Papa saya tegas dan mama saya lembut,” kata Merci yang mengagumi kedua orang tuanya.

Sayang kedua orang tua itu, pekan lalu tak menyaksikan putri mereka dinobatkan sebagai putri tercantik. Papanya sudah lama meninggal, sementara ibunya tinggal di Merauke yang berjarak ribuan kilo dari Timika. Hanya para kerabatnya yang datang memberi semangat. 

Merci malam Senin pekan lalu itu, akan tetapi tetap tak kehilangan pesona. Dia kini bahkan menyadari apa arti kecantikan setelah mengikuti ajang pemilihan putri Papua itu: menjadi diri sendiri yang utuh, bukan seperti imaji yang digambarkan reklame instan di televisi. N ezra sihite



Misi Budaya di Timika


Selama ini Timika identik dengan konflik dan semakin tingginya tingkat penularan HIV.

Marcelina Rahawarin terpilih menjadi Putri Indonesia Papua mengalahkan lima belas finalis yang datang dari berbagai kabupaten di Papua. Dirinya salah satu dari tiga perwakilan kabupaten Mimika. Sejak tahun 1992, provinsi paling timur Indonesia ini sudah terdaftar pernah mengikuti ajang kontes kecantikan Putri Indonesia, namun masih diwakili secara personal, bukan utusan dengan dasar pemilihan terlebih dahulu dilakukan di tingkat provinsi. 

Lisensi dari Yayasan putri Indonesia kemudian dikantongi mulai tahun 2005 yang mengakomodasi pengadaan kontes putri Indonesia seprovinsi. Sejak tahun itulah, ajang itu diadakan di Papua. Awalnya dia Jayapura selama dua kali berturut-turut, kemudian di Merauke dan tahun ini bertempat di Timika, kabupaten Mimika. 

Menurut Lessy Titihalawa, Ketua panitia penyelenggara, acara ini merupakan misi kebudayaan yang bisa mengangkat nama Papua. “Selama ini Timika identik dengan konflik dan semakin tingginya tingkat penularan HIV, oleh karena itu kita ingin menunjukkan bahwa tak hanya ada image buruk di Timika,” kata Lessy. 

Selama karantina tiga hari, 16 finalis putri Papua itu mengikuti berbagai pembekalan. Mulai dari pemberdayaan dan kesehatan reproduksi perempuan, kecantikan dalam dan cara bersikap, sesi dari Komisi Penanggulangan AIDS Papua, dan malam bakat untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam seni, sastra dan budaya. Salah satu kendala yang dihadapi Papua dalam penyelenggaraan ajang seperti ini, adanya sudut pandang dari masyarakat Papua bahwa para perempuan mereka masih kalah cantik kalau dibandingkan para perempuan dari provinsi lain. 

“Untuk apa ikut, kalau toh kalah juga nah mindset bahwa hitam itu tidak cantik harus diubah,” kata Rosalyn, dokter yang menjadi salah satu juri dari Timika. 

Rosalyn lalu menuturkan soal pengalamannya bersama sang suami, ketika mereka berkunjung ke Jerman, 2002. Ketika pemeriksaan di bandara, para petugas curiga bahwa mereka bukan Indonesia. “Mereka bilang orang Indonesia bukan seperti anda, mereka hanya tahu orang Indonesia yah seperti anda,” katanya sambil menunjuk saya, dan tertawa. 

Rasa pesimistis itu tak hanya membebani para perempuan muda tapi juga menghinggapi para orang tua. Menurut Lessy bahkan ada peserta yang ikut tapi kemudian dipanggil pulang oleh orang tuanya. 

Panitia kontes itu menganggap memang bukan hal yang mudah mengadakan acara seperti ini di bumi cendrawasih. Selain pesimistis yang masih menghinggapi masyarakat, dana juga harus diusahakan sendiri oleh Yayasan Putri Indonesia Papua. Itu termasuk untuk urusan transportasi karena dari masing-masing kabupaten, para finalis harus menggunakan pesawat terbang, yang biayanya tak murah. “Syukurnya ada sponsor yang mau membantu dan bisa dilaksanakan dengan dana yang kurang dari satu miliar rupiah,” kata Audra Resania, ketua Yayasan Putri Papua. 

Selain dihadiri oleh pihak juri dari Yayasan Putri Indonesia, Ayu Diandra Sari, putri Indonesia lingkungan 2008 juga turut menyambangi acara ini. “Saya baru pertama kali ke Papua dan saya salut Timika bisa mengadakan acara seperti ini sebagai wujud kepedulian terhadap para perempuannya,” kata gadis berdarah Bali yang kerap dipanggil Dhea ini.

Selain Merci yang terpilih sebagai PutriIndonesia Papua, terpilih juga Teguh Nugroho sebagai Putri Favorit. Teguh yang bersuku Asmat itu berbadan kekar mirip Naomi Campbel. Dia terpilih karena mendapat suara 17 ribu kupon. Kupon-kupon itu dibeli oleh pengunjung yang ikut hadir menyaksikan pemilihan Puteri Indonesia Papua. ezrasihite-

Dikutip sepenuhnya dari Koran Jakarta edisi 7 Juni 2009

Written by Miss Cha

June 15, 2009 at 10:02 am

Posted in Uncategorized

Yang Muda Yang Berpantomim

leave a comment »

Pegiat Pantomim Di Indonesia Bahkan Bisa Dihitung Dengan Jari Tangan. Rendra, Dedengkot Teater Di Indonesia Menyebut Pantomim Sebagai Seni Bercerita Dengan Gerak Semata Yang Menjadi Dasar Pertunjukan Teater. Bukan Kebetulan Belaka Sekelompok Anak Muda Di Jogyakarta Malah Mendirikan Bengkel Teater Pantomim, Mirip Bengkel Teater Yang Didirikan “Si Burung Merak”.

web- BSA2009040311
Istilah pantomim berasal dari bahasa Yunani yang artinya serba isyarat. Berarti secara etimologis, pertunjukan pantomim yang dikenal sampai sekarang itu adalah sebuah pertunjukan yang tidak menggunakan bahasa verbal. Pertunjukan itu bahkan bisa sepenuhnya tanpa suara apa-apa. Jelasnya, pantomim adalah pertunjukan bisu. Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 3, 2009 at 2:20 pm

Posted in Uncategorized

Sylviana Murni : Nikmatnya Jadi Walikota

leave a comment »

Perempuan Ini Tak Mau Menjadi Pejabat Yang Dibatasi Oleh Dinding-Dinding Jabatan Dan Kekuasan.

web- WAP20090525_12

Pernah menjadi None Jakarta, aktif berorganisasi, mengajar di beberapa perguruan tinggi, perempuan ini lalu menjadi walikota pertama di Jakarta. 

Sejak bergabung di Facebook, Sylviana Murni bisa dibilang tak pernah lepas dari blackberry, alat komunikasi yang sekarang banyak digandrungi orang. Senin siang pekan lalu, ketika ditemui di kantornya di Kantor Walikota Jakarta Pusat, Bu Walikota ini terlihat sibuk dengan alat komunikasi itu.  Read the rest of this entry »

Written by Miss Cha

June 3, 2009 at 2:14 pm

Posted in Uncategorized